Rabu, 01 November 2017

ANALISIS NOVEL JALAN MENIKUNG KARYA UMAR KAYAM (TERLENGKAP)

SINOPSIS, PENOKOHAN, LATAR/SETTING, SERTA AMANAT DALAM NOVEL YANG BERJUDUL JALAN MENIKUNG (PARA PRIYAYI 2)
KARYA UMAR KAYAM


I.                   IDENTITAS NOVEL
Judul                            :           Jalan Menikung (Para Priyayi 2)
Pengarang                    :           Umar Kayam
Penerbit                       :           PT Pustaka Utama Grafiti
Tempat Terbit              :           Jakarta
Cetakan                       :           III
Tahun Terbit                :           2010
Jumlah Halaman          :           184 halaman
Panjang novel              :           21 cm
Cetakan I                     :           Desember 1999
Sampul Depan             :
                                             
II.                BIODATA PENGARANG
Umar Kayam  adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, budayawan, dan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beliau lahir di NgawiJawa Timur pada tanggal 30 April 1932, dan meninggal di Jakarta pada tanggal 16 Maret 2002  pada umur 69 tahun, setelah sebelumnya menderita patah tulang paha pangkal bagian kiri.
Umar Kayam lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New YorkAmerika Serikat (1963), dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965). Umar Kayam pernah memperoleh Hadiah Sastra Asean pada tahun 1987.
Karya-karya yang pernah dihasilkan oleh Umar Kayam diantaranya:
1.         Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horison (1966/1967)
2.         Totok dan Toni (cerita anak, 1975)
3.         Sri Sumarah dan Bawuk (1975)
4.         Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai, 1981)
5.         Sri Sumarah (kumpulan cerpen, 1985, juga terbit dalam edisi Malaysia, 1981)
6.         Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (bersama Henri Peccinotti, 1985)
7.         Para Priyayi (novel, 1992) Mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan pada tahun 1995) 
8.         Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997)
9.         Jalan Menikung (novel, 1999)

III.             SINOPSIS
Jalan Menikung merupakan kelanjutan kisah keluarga besar Sastrodarsono di Wanagalih, Jawa Timur dalam novel Para Priyayi. Oleh sebab itu, maka novel Jalan Menikung disebut juga Para Priyayi 2.
Novel Jalan Menikung (Para Priyayi 2) menceritakan kehidupan cucu-cucu Eyang Sastrodarsono, terutama suami isteri Harimurti dan Sulistyaningsih, serta Tommi dan Jeanette yang tinggal di Jakarta. Harimurti merupakan anak dari Hardoyo, salah satu dari tiga putra Eyang Sastrodarsono. Hari dan Suli dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Eko. Eko tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas, sehingga ketika kelas dua SMA, ia mendapat beasiswa dari AFS (American Field Service) untuk menamatkan SMA di Amerika. Setelah lulus SMA, ia disarankan untuk mencari beasiswa dan melanjutkan studi di Sunnybrook College oleh Prof. Samuel D. Levin, yang juga seorang Guru Besar di tempat itu. Akhirnya Eko menerima saran tersebut setelah mendapat persetujuan orang tuanya di Jakarta. Ia pun tinggal di rumah Prof. Samuel D. Levin yang telah menjamin seluruh biaya hidupnya selama di Amerika.
Suatu ketika, Harimurti yang bekerja sebagai seorang redaktur penerbitan di Penerbit Mulia Mutu, dipecat oleh atasannya sebab masa lalunya, yang dikatakan “tidak bersih diri” karena pernah menjadi anggota Lekra dan HSI dan terlibat G30S/PKI. Lalu, iapun pergi ke rumah Lantip, kakak angkatnya, untuk menceritakan kejadian pemecatannya.
Eko menamatkan kuliahnya dengan cepat, tetapi ketika akan pulang ke Indonesia, Harimurti dan Sulistyaningsih justru melarangnya karena takut Eko akan mengalami nasib buruk terkena dampak masa lalu ayahnya. Akhirnya Eko tetap tinggal di Amerika dan bekerja di Asia Book, sebuah perusahaan penerbitan di New York. Ia sangat akrab dan dekat dengan Claire Levin, putri Prof. Levin, hingga membawa mereka pada pergaulan bebas yang menyebabkan Claire hamil. Eko pun mengirim surat untuk meminta restu dari kedua orang tuanya untuk menikah dengan Claire. Orang tua dan keluarganya di Indonesia sangat terkejut, terlebih Suli, ibunda Eko. Ia belum bisa menerima kalau anak satu-satunya akan menikah dengan seorang Yahudi Amerika. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena Claire sudah mengandung anak Eko. Akhirnya, pernikahan Eko dan Claire pun berlangsung di rumah orang tua Claire. Eko mengenakan jas dan peci hitam seperti pesan ibunya di Indonesia, agar tetap terlihat bahwa dirinya adalah seorang muslim.
Sebagai kado pernikahan, Eko dan Claire mendapatkan tiket berlibur sekaligus tugas kantor untuk pergi ke beberapa kota di Asia Timur dan Asia Tenggara, salah satunya adalah Jakarta.
Sementara itu di Jakarta, Tommi, sepupu Harimurti, mengadakan acara peresmian rumah barunya sekaligus rapat untuk membicarakan masalah pemugaran atau perbaikan kembali komplek pemakaman keluarga besar Sastrodarsono, yang dihadiri oleh keluarga besar Sastrodarsono.
Tommi menginginkan agar pemakaman diganti menggunakan kijing dari marmet Italia, namun Hari dan Lantip tidak setuju. Mereka ingin makam orang tua mereka tetap menggunakan teras abu-abu dari Solo. Suasana di rumah itu menjadi tegang, semua tetap pada pendiriannya. Tommi yang emosi akhirnya pergi ke rumah janda selingkuhannya, Endah Rahayu Prameswari.
Emosi Tommi bertambah ketika mengetahui bahwa Anna, anak gadisnya, telah hamil di luar nikah dengan Boy Saputro, laki-laki berdarah Cina anak Handoyo Saputro, mitra bisnis Tommi di Jawa Tengah. Ia pun tidak menghadiri acara pernikahan Anna di rumah keluarga Boy Saputro karena ia tidak mau darah priyayi Jawanya bercampur dengan darah bukan Jawa.
            Beberapa minggu kemudian, Eko dan Claire sampai di bandara Soekarno-Hatta dan dijemput oleh kedua orang tua serta pakdhe dan budhenya. Claire bisa langsung akrab dengan mereka. Begitupun dengan keluarga besar Eko yang lain. Selama di Jakarta, Eko dan Claire mengunjungi rumah keluarga besar Eko dan mendapat sambutan dengan baik, bahkan Jeanette, istri Tommi memberi bros berlian serta uang sepuluh ribu dolar sebagai kado pernikahan mereka. Keluarga Marie dan Maridjan, om dan tante Eko, memberinya hadiah pernikahan berupa uang sebesar lima puluh ribu dolar.
Di Wanagalih, proyek pemugaran makam keluarga Sastrodarsono sudah hampir selesai, dengan dikerjakan ahli-ahli dari Italia. Keluarga Tommi  mengadakan peresmian pemugaran makam dengan dihadiri keluarga besar Sastrodarsono dari Jakarta, termasuk Eko dan Claire, serta Anna dan Boy yang sudah diterima oleh ayahnya tersebut. Acara peresmian itu berlangsung sangat mewah dan dihadiri pula oleh Bupati Wanagalih.
Tommi seakan-akan ingin menunjukkan kekayaannya. Malam harinya ia mengadakan pasar malam dan wayang kulit di lapangan pemakaman tersebut.
Seminggu setelah acara peresmian pemugaran makam,  Hari, Suli, Eko, Claire, Lantip, dan Halimah pergi ke Padang untuk mengunjungi makam keluarga Halimah yang sederhana, tidak seperti keluarga suaminya di Wanagalih. Malam hari, mereka terlibat pembicaraan tentang perantauan Halimah ke Jawa dan Eko ke Amerika. Mereka menyadari bahwa jalan yang mereka lalui telah menikung.
Eko dan Claire kembali ke Amerika. Claire melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Solomon. Eko menganggapnya Sulaiman sesuai agama Islam.

IV.             PENOKOHAN
1.    Tokoh Utama                    :           Eko
2.    Tokoh Sampingan            :          1. Harimurti                  (Ayah Eko)
2. Sulistyaningsih         (Ibu Eko)
3. Lantip                       (Pakdhe Eko)
4. Halimah                    (Budhe Eko)
5. Claire                        (Istri Eko)
6. Tommi                      (Pakdhe Eko)
7. Jeanette                    (Budhe Eko)
            Sedangkan peranan tokoh yang digambarkan melalui sifatnya dalam novel tersebut adalah :
1.   Tokoh Protagonis                        :
1)        Eko, seorang laki-laki yang cerdas. Kecerdasan Eko tergambar dalam kutipan berikut.
“Anak kami itu, adalah anak yang luar biasa cerdas dan penuh dengan rasa humor yang menakjubkan. Pada waktu sebelum sekolah pun dia sudah dapat berhitung hingga sepuluh dan menulis namanya sendiri, e-k-o.”
(JM,2010:7)

2)        Harimurti, ayah Eko yang sabar namun berpendirian kuat, yang tergambar dalam kutipan narasi berikut.
“Semua menjadi diam. Mereka mengenal, terlalu mengenal bahkan, sifat Harimurti yang meskipun sabar, tetapi juga teguh dengan pendapat.”
(JM,2010:46)

3)        Sulistianingsih, ibu Eko yang bijaksana menyikapi masalah, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Saya mendukung usul Mbak Jeanette agar Anna disilakan bicara sepuasnya dulu tentang kasusnya. Itu haknya, kan? Ini bukan jamannya lagi kita orang tua bisa menetapkan kemauan kita sendiri dan anak tinggal menurut kemauan kita itu. Kewajiban kita mengusahakan agar anak kita, terutama, selamat menjalani hidupnya.”
(JM,2010:85)

4)        Lantip, Pakdhe Eko yang bijaksana, tergambar dalam salah satu kutipan berikut.
“Ya, kita jangan tergesa-gesa dulu mengambil keputusan apa-apa. Kita ulur dengan pertanyaan lebih lanjut kepada Eko rencana mereka selanjutnya apa.”
(JM,2010:39)

5)        Halimah, Budhe Eko yang perhatian dan baik hati, yang tergambar dalam kutipan berikut.
 “Halimah segera menggandeng Hari ke dalam dan memberinya piyama kering. Dibikinkannya adik iparnya itu teh panas dan disilakannya duduk mengobrol dengan suaminya sembari menunggu bajunya yang disetrika kering.”
(JM,2010:9)

6)        Claire, isteri Eko yang santun, tergambar dalam kutipan berikut.
“Claire dengan terus tersenyum menjabat tangan mereka dengan hangat sambil menghafal wajah-wajah mereka yang sudah sering dia dengar dari suaminya.”
(JM,2010:103)

7)        Jeanette, Budhe Eko yang ceria, lincah yang keseluruhan wataknya tergambar pada kutipan di halaman 42 berikut.
“Jeanette, sebagai layaknya seorang isteri pengusaha yang sukses, adalah seorang isteri yang ceria, lincah, dan selalu tahu menggembirakan teman dan tamunya.”
(JM,2010:42)

3.      Tokoh Antagonis
1)        Tommi, Pakdhe Eko yang tidak mau menerima perbedaan, keras kepala, serta sombong.
Sikap Tomy yang tidak mau menerima perbedaan tergambar dalam kutipan berikut.
“Kalian tahu, saudara-saudaraku, nama Handoyo itu sebenarnya? Han Swie Kun! Coba, adik-adikku, darah Sastrodarsono mau dicampur dengan darah Han Swie Kun. Apa tidak kacau nanti!”
(JM,2010:78)

Tomy keras kepala tergambar dalam kutipan dialog berikut.
“Mas, tapi Handoyo itu warga negara Indonesia, to? Yang punya hak sama sebagai warga negara bersama kita, to?”
“Lho, saya tidak mempersoalkan perkara hak warga negara di sini. Tentang itu saya akui sepenuhnya. Kan bukan kebetulan Handoyo saya pilih sebagai partner dagang. Mana orangnya jujur, bisa dipercaya. Tidak pernah mau nyatut saya. Kalau perkara itu, Handoyo oke-oke saja. Yang jadi soal Cinanya itu, lhoo..”
(JM,2010:83)

Kesombongan Tommi tergambar dalam kutipan berikut.
“Tommi tersenyum. Tahu bahwa wibawanya sebagai pemilik proyek diakui dan dihormati oleh ahli makam italia itu.”
(JM,2010:146)

V.                LATAR/SETTING
1.      Latar Tempat
1)      Restoran Cina bernama Phoenix di Jakarta, tempat Harimurti dinyatakan dikeluarkan dari perusahaan tempat kerjanya, yang dibuktikan dalam kutipan berikut.
“Di Phoenix mereka duduk menghadap jendela yang lebar yang memberinya pencakar langit Jakarta yang diselimuti kampung-kampung kumuh para migran pedalaman.”
(JM,2010:2)

2)      Rumah Lantip, ketika Harimurti datang untuk menceritakan kejadian pemecatan dirinya kepada Lantip dan Halimah, yang dibuktikan dalam kutipan berikut.
“Lantip yang sedang berdiri di teras bersama isterinya, terheran-heran melihat adiknya berdiri di halaman rumahnya, seperti orang hilang.”
(JM,2010:9)

3)      Rumah Harimurti, ketika Harimurti pulang bekerja, yang dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Hari sudah menjelang malam waktu Harimurti tiba di rumahnya. Isterinya sudah cemas menunggu di rumah.”
(JM,2010:11)

4)      Rumah Tommi dan Jeanette, saat diadakan peresmian rumah baru mereka, yang dibuktikan pada kutipan berikut.
“Wah, ini bukan rumah tinggal biasa,” komentar Suli, Sumi, dan Halimah sehabis diantar berkeliling kakak iparnya.”
(JM,2010:42)

5)      Rumah keluarga Levin di Amerika, ketika menyelenggarakan pernikahan Eko dengan Claire, yang tergambar pada kutipan berikut.
“Kawan-kawan Claire dari Sunnybrook College yang pada membawa gitar dan akordeon pada bergantian menyanyi bersama lagu-lagu rakyat Amerika dan Yahudi dalam bahasa Yiddish, pada membuat lingkaran-lingkaran, menarikan tarian-tarian rakyat berbagai bangsa. Rumah dan halaman yang tidak besar itu terasa semakin padat oleh kehadiran dan suara-suara orang mengobrol, tertawa dan menyanyi.”
(JM,2010:72)

6)      Bandara Soekarno-Hatta, ketika Eko dan Claire sampai di Jakarta, yang tergambar pada kutipan berikut.
“Sudah berapa tahun Soekarno-Hatta ini berdiri. Kok enggak ada maju-majunya.”
(JM,2010:102)

7)      Di Wanagalih, kompleks makam Pusara Laya, ketika peresmian pemugaran makam, yang tergambar dalam kutipan dialog berikut.
“....iring-iringan mobil sebanyak delapan buah memasuki kompleks makam Pusara Laya yang terletak di tepi sebelah timur kota Wanagalih.”
(JM,2010:151)

8)      Di Sumatera Barat, ketika Harimurti, Suli, Eko, Claire, Lantip, dan Halimah akan mengunjungi makam kerabat Halimah, tergambar dalam kutipan berikut.
“Bagaimana dengan kalian yang baru pertama kali datang ke Sumatera Barat? Apanya yang mengesankan kalian?”
(JM,2010:172)

2.      Latar Waktu
1)      Siang hari, ketika Harimurti dan bosnya makan siang, yang tegambar dalam kutipan berikut.
“Cukup, ya? Makan siang jangan kebanyakan, nanti mengantuk.”
(JM,2010:2)

2)      Hari Sabtu Wage pagi hari, saat peresmian pemugaran makam keluarga Sastrodarsono, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Pada pagi hari Sabtu Wage, hari pasar almarhum Pak Sastrodarsono, hari peresmian pemugaran makam trah Sastrodarsono, iring-iringan mobil sebanyak delapan buah memasuki kompleks makam Pusara Laya yang terletak di tepi sebelah timur kota Wanagalih.”
(JM,2010:151)

3)      Jam setengah sepuluh, acara peresmian pemugaran makam dimulai, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Akhirnya, pada jam setengah sepuluh, terlambat satu jam dari jam pembukaan yang direncanakan, karena Bapak Gubernur tidak jadi datang, sesudah sebelumnya menjanjikan mau datang, protokol menyilakan para tamu untuk duduk di tempat masing-masing............................................................”
(JM,2010:153)

3.      Latar Suasana
1)      Menyedihkan, ketika Harimurti hujan-hujanan pergi ke rumah Lantip setelah ia dipecat, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Hujan gerimis sudah berhenti, tetapi dia baru merasa bahwa hem dan celananya nyaris basah semua.”
(JM,2010:9)

2)      Sunyi, ketika Harimurti dan Suli telah ditinggal Eko untuk belajar di Amerika, yang dibuktikan pada kutipan berikut.
“Hidup tanpa ditunggui Eko lama-kelamaan telah menjadi pola juga bagi suami-isteri Suli dan Hari. Pola kesunyian suami isteri yang nyaris begitu saja ditinggal pergi anak yang baru berangkat dewasa.”
(JM,2010:32)

3)      Menegangkan, ketika keluarga Harimurti membicarakan surat dari Eko bahwa dirinya akan menikah dengan Claire, yang dibuktikan pada kutipan berikut.
“Lho, Dik Suli ini bagaimana! Eko kan anak kita semua, Dik. Begini saja. Karena saya dan uni kalian belum sempat membaca surat Eko dengan tuntas, bagaimana kalau saya baca keras-keras surat itu. Nanti kita bahas semua maksud Eko.”
“Sudah jelas Eko mau kawin sama bule Yahudi begitu, kok!”
“Eeh, Buu. Mbok sabar biar kita denger sekali lagi surat Eko.”
(JM,2010:37)

Suasana menegangkan juga terjadi ketika Tommi dan keluarganya mengetahui bahwa Anna, anak gadisnya telah hamil dengan Boy Saputro, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Tommi, sambil mengepalkan tinju kanannya, matanya membelalak menatap pandangan adiknya, Marie, Maridjan, iparnya, dan sepupu-sepupunya.”
(JM,2010:77)

4)      Ramai, ketika pesta pernikahan Eko dan Claire diselenggarakan, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Kawan-kawan Claire dari Sunnybrook College yang pada membawa gitar dan akordeon pada bergantian menyanyi bersama lagu-lagu rakyat Amerika dan Yahudi dalam bahasa Yiddish, pada membuat lingkaran-lingkaran, menarikan tarian-tarian rakyat berbagai bangsa. Rumah dan halaman yang tidak besar itu terasa semakin padat oleh kehadiran dan suara-suara orang mengobrol, tertawa dan menyanyi.”
(JM,2010:72)

5)      Mengharukan, ketika Eko dan Claire akan pulang kembali ke Amerika, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Eko kemudian melihat ibunya mengeluarkan saputangan, menangis. Buru-buru Eko mendekatinya, menenangkan.”
“Ibu merestui kepergian Eko dan Claire, kan?”
“Sambil mengusap air matanya, Suli menganggukkan kepalanya.”
(JM,2010:177)


VI.             AMANAT
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita yang tertuang.
Melalui novel Jalan Menikung ini, Umar Kayam (penulis) ingin menyampaikan bahwa hawa nafsu yang diumbar dan pergaulan bebas yang dilakukan akan mendatangkan hal buruk bagi dirinya sendiri, meskipun yang melakukan adalah orang terdidik dan pandai sekalipun, seperti yang terjadi pada Eko dan Claire serta Anna dan Boy, karena hawa nafsu tidak mengenal kepandaian akademik seseorang. Meskipun pada akhirnya semua keluarga bisa menerima pernikahan mereka, namun pada awalnya tetap saja terjadi perseteruan dalam keluarga.
Umar Kayam juga mengingatkan kita melalui kejadian tersebut, bahwa faktor lingkungan, agama dan perhatian dari orang tua akan menentukan sikap seorang anak. Eko yang tidak banyak memiliki bekal agama dan lama tinggal di Amerika, terpengaruh dengan lingkungan di sana yang seakan-akan pergaulan bebas itu adalah hal yang biasa, sehingga tanpa rasa takut ia dan Claire menceritakan pada orang tua mereka bahwa Claire telah hamil dan mereka akan menikah. Sementara itu, Anna yang kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya karena sibuk dengan kekayaan mereka, akhirnya juga mengalami hamil di luar nikah dengan Boy. Pergaulan bebas adalah hal yang sangat tidak bermoral meskipun yang melakukan adalah anak seorang priyayi dan berpendidikan.
Selain itu, novel ini juga mengajarkan kita untuk memiliki pendirian yang kuat selama kita tahu bahwa hal itu benar, seperti pendirian Harimurti dan Lantip, kakak beradik yang tetap mempertahankan ingin menggunakan kijing dari teras abu-abu dari Solo untuk makam kedua orang tuanya, meskipun sepupunya, Tommi yang kaya raya ingin menggantinya dengan marmer dari Italia. Hari dan Lantip tidak setuju dengan hal tersebut karena menurut mereka itu tanggungan anak masing-masing terhadap orang tuanya, jadi mereka tetap akan mengurus sendiri makam orang tua mereka.
Penulis juga menyampaikan melalui novel tersebut agar kita tidak mudah berprasangka buruk terhadap pihak lain yang berbeda dengan diri kita, padahal kita belum mengetahui bagaimana sebenarnya keadaan pihak lain tersebut. Seperti peristiwa dalam novel tersebut ketika Eko akan menikah dengan Claire, seorang penganut Yahudi Amerika. Pihak keluarga Eko, terutama Ibunya tidak setuju dengan pernikahan anaknya yang muslim dengan seorang Yahudi, tetapi Lantip berpendapat seperti dalam kutipan berikut.
“Jadi, sesungguhnya kita memang tidak tahu apa-apa tentang apa yang disebut dengan agama Yahudi itu. Yang kita lakukan hanyalah menduga-duga, apa agama Yahudi itu, berdasar pengetahuan yang sangat dangkal saja yang kita dapat dari dengar-dengar dari sana-sini. Itu pun dari sumber-sumber yang mungkin tidak terlalu senang dengan apa yang disebut Yahudi itu.”
(JM,2010:39)

Dari peristiwa Eko dan Claire, serta Anna dan Boy yang berhubungan sebelum menikah, mencerminkan bahwa seorang anak akan mengikuti perbuatan orang tuanya, baik disengaja maupun tidak disengaja, seperti peribahasa Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya. Penulis mengingatkan bahwa ketika orang tuanya berbuat tidak baik, maka disadari atau tidak, sedikit banyak anak akan meniru perbuatan tersebut. Harimurti, ayah Eko, sewaktu muda pernah juga berhubungan sebelum menikah dengan perempuan bernama Gadis hingga melahirkan anak kembar yang akhirnya Gadis dan anak kembarnya meninggal dunia. Begitupun dengan Tommi, ayah Anna yang selingkuh dengan Endang Rahayu Prameswari.
Umar Kayam juga menyampaikan agar pembaca tidak bersikap sombong dan berlebih-lebihan dalam menggunakan harta, seperti Tommi yang berlebihan ketika melakukan pemugaran makam keluarga, hingga akhirnya acara peresmian pemugaran makam yang seharusnya berlangsung dengan khidmad dan bernuansa religius malah seakan-akan seperti acara pesta yang mewah, sampai-sampai mengadakan pasar malam dan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, yang tentu saja tidak sesuai dengan acara peresmian pemugaran makam pada umumnya. Tommi seakan hanya ingin menunjukkan pada masyarakat di Kabupaten kecil yaitu Wanagalih, bahwa ia adalah konglomerat kaya dari Jakarta, cucu Eyang Sastrodarsono dari Wanagalih itu.























DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. Hans Lapoliwa. Dendy Sugono. Harimurti Kridalaksana. Sri Sukesi
Adiwimarta. Sri Timur Suratman. Dameria Nainggolan. Sutiman. Ermitati. Dad Murniah. Achmad Patoni. Erwina Burhannudin. Abdul Gaffar Ruskhan. Atidjah Hamid. Haryanto. Lien Sutini. Cormentyna Sitanggang. Hari Sulastri. Alma E. Almanar. Dedi Puryadi. Meity Taqdir Qodratillah. Ellya Iswati. Isti Nureni. Kurniatri Resminingsih. Menuk Hardaniwati. Amran Purba. Teguh Dewabrata. Muhammad Muis. Fairul Zabadi. Sutejo. Nani Darheni. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka
Kayam, Umar. 2010. Jalan Menikung. Jakarta:PT Pustaka Utama Grafiti


            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANALISIS NOVEL JALAN MENIKUNG KARYA UMAR KAYAM (TERLENGKAP)

SINOPSIS, PENOKOHAN, LATAR/SETTING, SERTA AMANAT DALAM NOVEL YANG BERJUDUL JALAN MENIKUNG (PARA PRIYAYI 2) KARYA UMAR KAYAM I.     ...