SINOPSIS,
PENOKOHAN, LATAR/SETTING, SERTA AMANAT DALAM NOVEL YANG BERJUDUL JALAN MENIKUNG
(PARA PRIYAYI 2)
KARYA
UMAR KAYAM
I.
IDENTITAS
NOVEL
Judul : Jalan
Menikung (Para Priyayi 2)
Pengarang : Umar
Kayam
Penerbit : PT
Pustaka Utama Grafiti
Tempat Terbit : Jakarta
Cetakan : III
Tahun Terbit : 2010
Jumlah Halaman : 184
halaman
Panjang novel : 21
cm
Cetakan I : Desember
1999
Sampul Depan :
II.
BIODATA
PENGARANG
Umar Kayam lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada
(1955), meraih M.A. dari Universitas New York, Amerika Serikat (1963),
dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965). Umar Kayam pernah memperoleh
Hadiah Sastra Asean pada tahun 1987.
Karya-karya yang pernah dihasilkan oleh Umar Kayam diantaranya:
1.
Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan
cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horison (1966/1967)
2.
Totok dan Toni (cerita anak, 1975)
3.
Sri Sumarah dan Bawuk (1975)
4.
Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan
esai, 1981)
5.
Sri Sumarah (kumpulan cerpen, 1985, juga
terbit dalam edisi Malaysia, 1981)
6.
Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (bersama
Henri Peccinotti, 1985)
7.
Para Priyayi (novel, 1992) Mendapat Hadiah
Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan pada tahun 1995)
8.
Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997)
9.
Jalan Menikung (novel, 1999)
III.
SINOPSIS
Jalan
Menikung merupakan kelanjutan kisah keluarga besar Sastrodarsono di Wanagalih, Jawa
Timur dalam novel Para Priyayi. Oleh sebab itu, maka novel Jalan Menikung
disebut juga Para Priyayi 2.
Novel
Jalan Menikung (Para Priyayi 2) menceritakan kehidupan cucu-cucu Eyang
Sastrodarsono, terutama suami isteri Harimurti dan Sulistyaningsih, serta Tommi
dan Jeanette yang tinggal di Jakarta. Harimurti merupakan anak dari Hardoyo,
salah satu dari tiga putra Eyang Sastrodarsono. Hari dan Suli dikaruniai
seorang anak laki-laki yang diberi nama Eko. Eko tumbuh menjadi anak yang
sangat cerdas, sehingga ketika kelas dua SMA, ia mendapat beasiswa dari AFS
(American Field Service) untuk menamatkan SMA di Amerika. Setelah lulus SMA, ia
disarankan untuk mencari beasiswa dan melanjutkan studi di Sunnybrook College
oleh Prof. Samuel D. Levin, yang juga seorang Guru Besar di tempat itu.
Akhirnya Eko menerima saran tersebut setelah mendapat persetujuan orang tuanya
di Jakarta. Ia pun tinggal di rumah Prof. Samuel D. Levin yang telah menjamin
seluruh biaya hidupnya selama di Amerika.
Suatu
ketika, Harimurti yang bekerja sebagai seorang redaktur penerbitan di Penerbit
Mulia Mutu, dipecat oleh atasannya sebab masa lalunya, yang dikatakan “tidak bersih
diri” karena pernah menjadi anggota Lekra dan HSI dan terlibat G30S/PKI. Lalu,
iapun pergi ke rumah Lantip, kakak angkatnya, untuk menceritakan kejadian
pemecatannya.
Eko
menamatkan kuliahnya dengan cepat, tetapi ketika akan pulang ke Indonesia, Harimurti
dan Sulistyaningsih justru melarangnya karena takut Eko akan mengalami nasib
buruk terkena dampak masa lalu ayahnya. Akhirnya Eko tetap tinggal di Amerika
dan bekerja di Asia Book, sebuah perusahaan penerbitan di New York. Ia sangat
akrab dan dekat dengan Claire Levin, putri Prof. Levin, hingga membawa mereka
pada pergaulan bebas yang menyebabkan Claire hamil. Eko pun mengirim surat
untuk meminta restu dari kedua orang tuanya untuk menikah dengan Claire. Orang
tua dan keluarganya di Indonesia sangat terkejut, terlebih Suli, ibunda Eko. Ia
belum bisa menerima kalau anak satu-satunya akan menikah dengan seorang Yahudi
Amerika. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena Claire sudah
mengandung anak Eko. Akhirnya, pernikahan Eko dan Claire pun berlangsung di
rumah orang tua Claire. Eko mengenakan jas dan peci hitam seperti pesan ibunya
di Indonesia, agar tetap terlihat bahwa dirinya adalah seorang muslim.
Sebagai
kado pernikahan, Eko dan Claire mendapatkan tiket berlibur sekaligus tugas
kantor untuk pergi ke beberapa kota di Asia Timur dan Asia Tenggara, salah
satunya adalah Jakarta.
Sementara
itu di Jakarta, Tommi, sepupu Harimurti, mengadakan acara peresmian rumah
barunya sekaligus rapat untuk membicarakan masalah pemugaran atau perbaikan
kembali komplek pemakaman keluarga besar Sastrodarsono, yang dihadiri oleh
keluarga besar Sastrodarsono.
Tommi
menginginkan agar pemakaman diganti menggunakan kijing dari marmet Italia,
namun Hari dan Lantip tidak setuju. Mereka ingin makam orang tua mereka tetap
menggunakan teras abu-abu dari Solo. Suasana di rumah itu menjadi tegang, semua
tetap pada pendiriannya. Tommi yang emosi akhirnya pergi ke rumah janda
selingkuhannya, Endah Rahayu Prameswari.
Emosi
Tommi bertambah ketika mengetahui bahwa Anna, anak gadisnya, telah hamil di
luar nikah dengan Boy Saputro, laki-laki berdarah Cina anak Handoyo Saputro,
mitra bisnis Tommi di Jawa Tengah. Ia pun tidak menghadiri acara pernikahan
Anna di rumah keluarga Boy Saputro karena ia tidak mau darah priyayi Jawanya
bercampur dengan darah bukan Jawa.
Beberapa minggu kemudian, Eko dan
Claire sampai di bandara Soekarno-Hatta dan dijemput oleh kedua orang tua serta
pakdhe dan budhenya. Claire bisa langsung akrab dengan mereka. Begitupun
dengan keluarga besar Eko yang lain. Selama di Jakarta, Eko dan Claire
mengunjungi rumah keluarga besar Eko dan mendapat sambutan dengan baik, bahkan
Jeanette, istri Tommi memberi bros berlian serta uang sepuluh ribu dolar
sebagai kado pernikahan mereka. Keluarga Marie dan Maridjan, om dan tante Eko,
memberinya hadiah pernikahan berupa uang sebesar lima puluh ribu dolar.
Di
Wanagalih, proyek pemugaran makam keluarga Sastrodarsono sudah hampir selesai,
dengan dikerjakan ahli-ahli dari Italia. Keluarga Tommi mengadakan peresmian pemugaran makam dengan
dihadiri keluarga besar Sastrodarsono dari Jakarta, termasuk Eko dan Claire,
serta Anna dan Boy yang sudah diterima oleh ayahnya tersebut. Acara peresmian
itu berlangsung sangat mewah dan dihadiri pula oleh Bupati Wanagalih.
Tommi
seakan-akan ingin menunjukkan kekayaannya. Malam harinya ia mengadakan pasar
malam dan wayang kulit di lapangan pemakaman tersebut.
Seminggu
setelah acara peresmian pemugaran makam,
Hari, Suli, Eko, Claire, Lantip, dan Halimah pergi ke Padang untuk
mengunjungi makam keluarga Halimah yang sederhana, tidak seperti keluarga
suaminya di Wanagalih. Malam hari, mereka terlibat pembicaraan tentang
perantauan Halimah ke Jawa dan Eko ke Amerika. Mereka menyadari bahwa jalan
yang mereka lalui telah menikung.
Eko
dan Claire kembali ke Amerika. Claire melahirkan seorang anak laki-laki yang
diberi nama Solomon. Eko menganggapnya Sulaiman sesuai agama Islam.
IV.
PENOKOHAN
1.
Tokoh Utama : Eko
2.
Tokoh
Sampingan : 1. Harimurti (Ayah Eko)
2.
Sulistyaningsih (Ibu Eko)
3. Lantip (Pakdhe Eko)
4. Halimah (Budhe Eko)
5. Claire (Istri Eko)
6. Tommi (Pakdhe Eko)
7. Jeanette (Budhe Eko)
Sedangkan peranan tokoh yang
digambarkan melalui sifatnya dalam novel tersebut adalah :
1. Tokoh Protagonis :
1)
Eko, seorang laki-laki yang cerdas. Kecerdasan Eko
tergambar dalam kutipan berikut.
“Anak kami itu, adalah anak yang
luar biasa cerdas dan penuh dengan rasa humor yang menakjubkan. Pada waktu
sebelum sekolah pun dia sudah dapat berhitung hingga sepuluh dan menulis
namanya sendiri, e-k-o.”
(JM,2010:7)
2)
Harimurti, ayah Eko yang sabar namun berpendirian
kuat, yang tergambar dalam kutipan narasi berikut.
“Semua menjadi diam. Mereka
mengenal, terlalu mengenal bahkan, sifat Harimurti yang meskipun sabar, tetapi
juga teguh dengan pendapat.”
(JM,2010:46)
3)
Sulistianingsih, ibu Eko yang bijaksana menyikapi
masalah, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Saya mendukung usul Mbak Jeanette
agar Anna disilakan bicara sepuasnya dulu tentang kasusnya. Itu haknya, kan?
Ini bukan jamannya lagi kita orang tua bisa menetapkan kemauan kita sendiri dan
anak tinggal menurut kemauan kita itu. Kewajiban kita mengusahakan agar anak
kita, terutama, selamat menjalani hidupnya.”
(JM,2010:85)
4)
Lantip, Pakdhe
Eko yang bijaksana, tergambar dalam salah satu kutipan berikut.
“Ya, kita jangan tergesa-gesa dulu
mengambil keputusan apa-apa. Kita ulur dengan pertanyaan lebih lanjut kepada
Eko rencana mereka selanjutnya apa.”
(JM,2010:39)
5)
Halimah, Budhe Eko
yang perhatian dan baik hati, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Halimah segera menggandeng Hari ke dalam dan
memberinya piyama kering. Dibikinkannya adik iparnya itu teh panas dan
disilakannya duduk mengobrol dengan suaminya sembari menunggu bajunya yang
disetrika kering.”
(JM,2010:9)
6)
Claire, isteri Eko yang santun, tergambar dalam
kutipan berikut.
“Claire dengan terus tersenyum
menjabat tangan mereka dengan hangat sambil menghafal wajah-wajah mereka yang
sudah sering dia dengar dari suaminya.”
(JM,2010:103)
7)
Jeanette, Budhe Eko
yang ceria, lincah yang keseluruhan wataknya tergambar pada kutipan di halaman
42 berikut.
“Jeanette, sebagai layaknya seorang
isteri pengusaha yang sukses, adalah seorang isteri yang ceria, lincah, dan
selalu tahu menggembirakan teman dan tamunya.”
(JM,2010:42)
3.
Tokoh
Antagonis
1)
Tommi, Pakdhe Eko
yang tidak mau menerima perbedaan, keras kepala, serta sombong.
Sikap Tomy yang tidak mau menerima
perbedaan tergambar dalam kutipan berikut.
“Kalian tahu, saudara-saudaraku,
nama Handoyo itu sebenarnya? Han Swie Kun! Coba, adik-adikku, darah Sastrodarsono
mau dicampur dengan darah Han Swie Kun. Apa tidak kacau nanti!”
(JM,2010:78)
Tomy keras kepala tergambar dalam
kutipan dialog berikut.
“Mas, tapi Handoyo itu warga negara
Indonesia, to? Yang punya hak sama sebagai warga negara bersama kita, to?”
“Lho, saya tidak mempersoalkan perkara
hak warga negara di sini. Tentang itu saya akui sepenuhnya. Kan bukan kebetulan
Handoyo saya pilih sebagai partner dagang. Mana orangnya jujur, bisa dipercaya.
Tidak pernah mau nyatut saya. Kalau perkara itu, Handoyo oke-oke saja. Yang
jadi soal Cinanya itu, lhoo..”
(JM,2010:83)
Kesombongan Tommi tergambar dalam
kutipan berikut.
“Tommi tersenyum. Tahu bahwa
wibawanya sebagai pemilik proyek diakui dan dihormati oleh ahli makam italia
itu.”
(JM,2010:146)
V.
LATAR/SETTING
1.
Latar
Tempat
1) Restoran
Cina bernama Phoenix di Jakarta, tempat Harimurti dinyatakan dikeluarkan dari
perusahaan tempat kerjanya, yang dibuktikan dalam kutipan berikut.
“Di Phoenix mereka duduk menghadap
jendela yang lebar yang memberinya pencakar langit Jakarta yang diselimuti
kampung-kampung kumuh para migran pedalaman.”
(JM,2010:2)
2) Rumah
Lantip, ketika Harimurti datang untuk menceritakan kejadian pemecatan dirinya
kepada Lantip dan Halimah, yang dibuktikan dalam kutipan berikut.
“Lantip yang sedang berdiri di teras
bersama isterinya, terheran-heran melihat adiknya berdiri di halaman rumahnya,
seperti orang hilang.”
(JM,2010:9)
3) Rumah
Harimurti, ketika Harimurti pulang bekerja, yang dibuktikan dengan kutipan
berikut.
“Hari sudah menjelang malam waktu
Harimurti tiba di rumahnya. Isterinya sudah cemas menunggu di rumah.”
(JM,2010:11)
4) Rumah Tommi dan Jeanette, saat diadakan peresmian rumah baru mereka, yang
dibuktikan pada kutipan berikut.
“Wah, ini bukan rumah tinggal
biasa,” komentar Suli, Sumi, dan Halimah sehabis diantar berkeliling kakak
iparnya.”
(JM,2010:42)
5) Rumah keluarga Levin di Amerika, ketika menyelenggarakan pernikahan Eko
dengan Claire, yang tergambar pada kutipan berikut.
“Kawan-kawan Claire dari Sunnybrook
College yang pada membawa gitar dan akordeon pada bergantian menyanyi bersama
lagu-lagu rakyat Amerika dan Yahudi dalam bahasa Yiddish, pada membuat
lingkaran-lingkaran, menarikan tarian-tarian rakyat berbagai bangsa. Rumah dan
halaman yang tidak besar itu terasa semakin padat oleh kehadiran dan
suara-suara orang mengobrol, tertawa dan menyanyi.”
(JM,2010:72)
6) Bandara Soekarno-Hatta, ketika Eko dan Claire sampai di Jakarta, yang
tergambar pada kutipan berikut.
“Sudah berapa tahun Soekarno-Hatta
ini berdiri. Kok enggak ada maju-majunya.”
(JM,2010:102)
7) Di Wanagalih, kompleks makam Pusara Laya, ketika peresmian pemugaran
makam, yang tergambar dalam kutipan dialog berikut.
“....iring-iringan mobil sebanyak
delapan buah memasuki kompleks makam Pusara Laya yang terletak di tepi sebelah
timur kota Wanagalih.”
(JM,2010:151)
8) Di Sumatera Barat, ketika Harimurti, Suli, Eko, Claire, Lantip, dan
Halimah akan mengunjungi makam kerabat Halimah, tergambar dalam kutipan
berikut.
“Bagaimana dengan kalian yang baru
pertama kali datang ke Sumatera Barat? Apanya yang mengesankan kalian?”
(JM,2010:172)
2.
Latar
Waktu
1) Siang
hari, ketika Harimurti dan bosnya makan siang, yang tegambar dalam kutipan
berikut.
“Cukup, ya? Makan siang jangan
kebanyakan, nanti mengantuk.”
(JM,2010:2)
2) Hari
Sabtu Wage pagi hari, saat peresmian pemugaran makam keluarga Sastrodarsono,
yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Pada pagi hari Sabtu Wage, hari
pasar almarhum Pak Sastrodarsono, hari peresmian pemugaran makam trah
Sastrodarsono, iring-iringan mobil sebanyak delapan buah memasuki kompleks
makam Pusara Laya yang terletak di tepi sebelah timur kota Wanagalih.”
(JM,2010:151)
3) Jam
setengah sepuluh, acara peresmian pemugaran makam dimulai, yang tergambar dalam
kutipan berikut.
“Akhirnya, pada jam setengah
sepuluh, terlambat satu jam dari jam pembukaan yang direncanakan, karena Bapak
Gubernur tidak jadi datang, sesudah sebelumnya menjanjikan mau datang, protokol
menyilakan para tamu untuk duduk di tempat
masing-masing............................................................”
(JM,2010:153)
3.
Latar
Suasana
1) Menyedihkan,
ketika Harimurti hujan-hujanan pergi ke rumah Lantip setelah ia dipecat, yang
tergambar dalam kutipan berikut.
“Hujan gerimis sudah berhenti,
tetapi dia baru merasa bahwa hem dan celananya nyaris basah semua.”
(JM,2010:9)
2) Sunyi,
ketika Harimurti dan Suli telah ditinggal Eko untuk belajar di Amerika, yang dibuktikan
pada kutipan berikut.
“Hidup tanpa ditunggui Eko
lama-kelamaan telah menjadi pola juga bagi suami-isteri Suli dan Hari. Pola
kesunyian suami isteri yang nyaris begitu saja ditinggal pergi anak yang baru
berangkat dewasa.”
(JM,2010:32)
3) Menegangkan,
ketika keluarga Harimurti membicarakan surat dari Eko bahwa dirinya akan
menikah dengan Claire, yang dibuktikan pada kutipan berikut.
“Lho, Dik Suli ini bagaimana! Eko
kan anak kita semua, Dik. Begini saja. Karena saya dan uni kalian belum sempat
membaca surat Eko dengan tuntas, bagaimana kalau saya baca keras-keras surat
itu. Nanti kita bahas semua maksud Eko.”
“Sudah jelas Eko mau kawin sama bule
Yahudi begitu, kok!”
“Eeh, Buu. Mbok sabar biar kita
denger sekali lagi surat Eko.”
(JM,2010:37)
Suasana menegangkan juga terjadi
ketika Tommi dan keluarganya mengetahui bahwa Anna, anak gadisnya telah hamil
dengan Boy Saputro, yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Tommi, sambil mengepalkan tinju
kanannya, matanya membelalak menatap pandangan adiknya, Marie, Maridjan,
iparnya, dan sepupu-sepupunya.”
(JM,2010:77)
4) Ramai,
ketika pesta pernikahan Eko dan Claire diselenggarakan, yang tergambar dalam
kutipan berikut.
“Kawan-kawan Claire dari Sunnybrook
College yang pada membawa gitar dan akordeon pada bergantian menyanyi bersama
lagu-lagu rakyat Amerika dan Yahudi dalam bahasa Yiddish, pada membuat
lingkaran-lingkaran, menarikan tarian-tarian rakyat berbagai bangsa. Rumah dan
halaman yang tidak besar itu terasa semakin padat oleh kehadiran dan suara-suara
orang mengobrol, tertawa dan menyanyi.”
(JM,2010:72)
5) Mengharukan,
ketika Eko dan Claire akan pulang kembali ke Amerika, yang tergambar dalam
kutipan berikut.
“Eko kemudian melihat ibunya
mengeluarkan saputangan, menangis. Buru-buru Eko mendekatinya, menenangkan.”
“Ibu merestui kepergian Eko dan
Claire, kan?”
“Sambil mengusap air matanya, Suli
menganggukkan kepalanya.”
(JM,2010:177)
VI.
AMANAT
Amanat adalah pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita yang tertuang.
Melalui novel Jalan Menikung
ini, Umar Kayam (penulis) ingin menyampaikan bahwa hawa nafsu yang diumbar dan
pergaulan bebas yang dilakukan akan mendatangkan hal buruk bagi dirinya sendiri,
meskipun yang melakukan adalah orang terdidik dan pandai sekalipun, seperti
yang terjadi pada Eko dan Claire serta Anna dan Boy, karena hawa nafsu tidak
mengenal kepandaian akademik seseorang. Meskipun pada akhirnya semua keluarga bisa
menerima pernikahan mereka, namun pada awalnya tetap saja terjadi perseteruan
dalam keluarga.
Umar Kayam juga mengingatkan
kita melalui kejadian tersebut, bahwa faktor lingkungan, agama dan perhatian
dari orang tua akan menentukan sikap seorang anak. Eko yang tidak banyak
memiliki bekal agama dan lama tinggal di Amerika, terpengaruh dengan lingkungan
di sana yang seakan-akan pergaulan bebas itu adalah hal yang biasa, sehingga tanpa
rasa takut ia dan Claire menceritakan pada orang tua mereka bahwa Claire telah
hamil dan mereka akan menikah. Sementara itu, Anna yang kurang mendapatkan
perhatian dari orang tuanya karena sibuk dengan kekayaan mereka, akhirnya juga
mengalami hamil di luar nikah dengan Boy. Pergaulan bebas adalah hal yang
sangat tidak bermoral meskipun yang melakukan adalah anak seorang priyayi dan
berpendidikan.
Selain itu, novel ini juga
mengajarkan kita untuk memiliki pendirian yang kuat selama kita tahu bahwa hal
itu benar, seperti pendirian Harimurti dan Lantip, kakak beradik yang tetap
mempertahankan ingin menggunakan kijing dari teras abu-abu dari Solo untuk
makam kedua orang tuanya, meskipun sepupunya, Tommi yang kaya raya ingin
menggantinya dengan marmer dari Italia. Hari dan Lantip tidak setuju dengan hal
tersebut karena menurut mereka itu tanggungan anak masing-masing terhadap orang
tuanya, jadi mereka tetap akan mengurus sendiri makam orang tua mereka.
Penulis juga menyampaikan
melalui novel tersebut agar kita tidak mudah berprasangka buruk terhadap pihak
lain yang berbeda dengan diri kita, padahal kita belum mengetahui bagaimana
sebenarnya keadaan pihak lain tersebut. Seperti peristiwa dalam novel tersebut
ketika Eko akan menikah dengan Claire, seorang penganut Yahudi Amerika. Pihak
keluarga Eko, terutama Ibunya tidak setuju dengan pernikahan anaknya yang
muslim dengan seorang Yahudi, tetapi Lantip berpendapat seperti dalam kutipan
berikut.
“Jadi,
sesungguhnya kita memang tidak tahu apa-apa tentang apa yang disebut dengan
agama Yahudi itu. Yang kita lakukan hanyalah menduga-duga, apa agama Yahudi
itu, berdasar pengetahuan yang sangat dangkal saja yang kita dapat dari
dengar-dengar dari sana-sini. Itu pun dari sumber-sumber yang mungkin tidak
terlalu senang dengan apa yang disebut Yahudi itu.”
(JM,2010:39)
Dari peristiwa Eko dan
Claire, serta Anna dan Boy yang berhubungan sebelum menikah, mencerminkan bahwa
seorang anak akan mengikuti perbuatan orang tuanya, baik disengaja maupun tidak
disengaja, seperti peribahasa Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya. Penulis
mengingatkan bahwa ketika orang tuanya berbuat tidak baik, maka disadari atau
tidak, sedikit banyak anak akan meniru perbuatan tersebut. Harimurti, ayah Eko,
sewaktu muda pernah juga berhubungan sebelum menikah dengan perempuan bernama
Gadis hingga melahirkan anak kembar yang akhirnya Gadis dan anak kembarnya
meninggal dunia. Begitupun dengan Tommi, ayah Anna yang selingkuh dengan Endang
Rahayu Prameswari.
Umar Kayam juga menyampaikan
agar pembaca tidak bersikap sombong dan berlebih-lebihan dalam menggunakan
harta, seperti Tommi yang berlebihan ketika melakukan pemugaran makam keluarga,
hingga akhirnya acara peresmian pemugaran makam yang seharusnya berlangsung
dengan khidmad dan bernuansa religius malah seakan-akan seperti acara pesta
yang mewah, sampai-sampai mengadakan pasar malam dan pertunjukan wayang kulit
semalam suntuk, yang tentu saja tidak sesuai dengan acara peresmian pemugaran
makam pada umumnya. Tommi seakan hanya ingin menunjukkan pada masyarakat di
Kabupaten kecil yaitu Wanagalih, bahwa ia adalah konglomerat kaya dari Jakarta,
cucu Eyang Sastrodarsono dari Wanagalih itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi, Hasan. Hans Lapoliwa. Dendy
Sugono. Harimurti Kridalaksana. Sri Sukesi
Adiwimarta. Sri Timur
Suratman. Dameria Nainggolan. Sutiman. Ermitati. Dad Murniah. Achmad Patoni.
Erwina Burhannudin. Abdul Gaffar Ruskhan. Atidjah Hamid. Haryanto. Lien Sutini.
Cormentyna Sitanggang. Hari Sulastri. Alma E. Almanar. Dedi Puryadi. Meity
Taqdir Qodratillah. Ellya Iswati. Isti Nureni. Kurniatri Resminingsih. Menuk Hardaniwati.
Amran Purba. Teguh Dewabrata. Muhammad Muis. Fairul Zabadi. Sutejo. Nani
Darheni. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka
Kayam, Umar. 2010. Jalan Menikung. Jakarta:PT Pustaka Utama
Grafiti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar