Rabu, 01 November 2017

CERPEN RELIGI TERBARU: LEBARAN ABAH

LEBARAN ABAH
(Karya : Ambar Arumsari)

“Abah, tolong ini belanjanya !”, teriak Ambu dari halaman depan rumahnya. “MasyaAllah, Ambu teh kenapa belanja banyak-banyak?”, tergopoh-gopoh Abah menjemput Ambu yang kesulitan membawa berbagai barang belanjaan. “Ambu mau masak semur kesukaan Asep, bah.” jawab Ambu semangat.
Ambu belanja ke Pasar Ciroyom yang lumayan jauh dari rumahnya di Cimahi, menyusup dinginnya kota Bandung pagi buta itu. Tiga hari sudah Abah dan Ambu sibuk mempersiapkan ini itu. Padahal Idul Fitri masih seminggu lagi. Mengecat dinding bambunya, membersihkan rumput-rumput liar halaman, mencuci kursi reotnya, dan berbagai pernak-pernik rumah telah mereka persiapkan. Dari toples keripik hingga lampu depan rumah kerlap-kerlip warna-warni.
“Kalau nanti Asep pulang, Abah mau ajak dia mancing di sungai lagi, Mbu.” Siang itu Abah melakukan ritual hariannya, mengelap telepon putar berwarna cokelat yang permukaannya telah mengelupas menjadi hitam hampir diseluruh bagiannya. Pemberian bapaknya dulu.
“Abah ini bagaimana atuh? Asep teh udah gede, udah dewasa, udah punya anak juga, masa mau diajak mancing, bah..bah..” sambung Ambu dari depan tungku, memasukkan tiga potong kayu jati yang panjangnya satu meter lebih. “Kalau mau ngajak mancing ya si eneng, cucu kita.”
Krriiiiinngggg.........Kriiiingggggggg. Telepon tua itu berdering. “Assalamualaikum.” jawab Abah dengan segera. “Ya, walaikumsalam.” Satu menit kemudian Abah meletakkan gagang teleponnya.
“Siapa bah?” teriak Ambu. “Pedagang ayam, mau ngirim.” jawab Abah. Seharian Abah menunggu telepon berdering, berharap Asep, anaknya, memberi kabar kepulangannya ke kampung. “Mbu, si Dadang anaknya Pak RT itu sudah pulang kemarin sore.” Abah berjalan ke dapur, berdiri di depan pintu belakang yang di buka setengah. “Si Epi juga baru saja nyampe tuh.” tambahnya dengan murung.
“Alhamdulillah. Ambu ikut seneng.” sahut Ambu. “Ambu ini bagaimana atuh? Harusnya teh sedih. Si Asep anak kita belum pulang juga.” jawab Abah gelisah. “Abah husnudhon aja, mungkin macet.” jawab Ambu mengibur.
Jam demi jam, hari demi hari terus berlalu, hingga idul fitri kurang dua hari lagi. Abah mulai cemas memikirkan Asep yang tidak kunjung memberinya kabar. Ditengoknya telepon tuanya hampir setiap saat.
Seruan adzan maghrib pun tiba bersamaan dengan dering nyaring telepon tua ketika Abah dan Ambu sedang menyantap kurma segar pemberian pak haji untuk buka puasa. Muka Abah sumringah. Tergesa-gesa ia berlari menuju telepon tua di meja kecil depan kamar tidurnya. “Halo, assalamualaikum. Asep?” sapa Abah dengan sangat girang. “
Berkebalikan dengan Abah, wajah Ambu memerah. Tubuhnya tegang, tangannya gemetar, lidahnya kelu. Ambu sudah menduga kalau yang menelepon bukan Asep. Dan benar saja, Abah menutup telepon dengan kecewa dan tidak bisa memendam amarahnya. “Anak itu sudah lupa dengan kita, Mbu!” raut amarahnya semakin jelas. “Tidak mungkin atuh bah. Mungkin Asep teh sibuk pisan.” hibur Ambu. “Anak Pak RT yang jauh-jauh dari Kalimantan saja sudah pulang dari seminggu yang lalu. Semua anak tetangga-tetangga kita sudah pulang! La, anak kita satu-satunya yang cuma dari Semarang kok ya belum nengok ke sini!” jawab Abah sambil pergi keluar rumah meninggalkan Ambu.
Suara jangkrik terdengar makin keras bersahut-sahutan. Ambu mencoba menelepon Asep, namun tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, telepon tuanya kembali berdering. Ketika Ambu hendak mengangkat gagang telepon, Abah dari belakang langsung mencegahnya. “Biar Abah saja yang angkat” seru Abah. Ambu memberikannya dengan cemas.”Assalamualaikum, pak. Pripun kabarnya? Bapak sama Ibu sehat?” terdengar suara dari teleponnya. “Walaikumsalam, kok kamu yang telepon Sit, suamimu mana?” jawab Abah. “Mas Asep lagi sibuk mengurus tanaman-tanaman di sini pak, dan katanya lebaran kali ini tidak bisa pulang ke Bandung lagi, Pak.”
Abah menutup telepon dengan keras. Emosinya memuncak. “Dasar anak nggak berbakti. Semarang Bandung itu cuma berapa jauhnya kok sampai nggak mau...”. Tiba-tiba suara Abah terhenti. Dadanya sakit. Sesak. Tapi hatinya lebih sakit. Tersayat. Ada luka menganga. Dan, bruuk. Abah pingsan tersungkur. Sakit jantungnya kambuh. Kopiah hitam kusamnya terpental. Ambu panik. Minta tolong kesana-kemari. Bingung. Takut.
Akhirnya Abah terbaring di Rumah Sakit Umum Daerah Bandung, rumah sakit milik pemerintah yang biayanya tidak selangit, bahkan tipis dan bisa gratis. Tapi jangan tanyakan obat yang diberikan. Apalagi pelayanan. Maklumlah, setelah pensiun sebagai pegawai rendahan di kantor kecamatan Bandung Kulon, Abah hanya bisa beternak ayam kampung, sedangkan Ambu membantu sebisanya. Sering, dalam hati paling ujung dalam, mereka mengharapkan Asep memberikan sedikit keuntungan dari usaha tanaman hiasnya. Meskipun harapan itu tak pernah terucap dari mulut mereka, namun mereka saling tahu, bahwa harapannya sama.
“Sudah dua tahun ya Mbu, Asep tidak pulang.” kata Abah lemah. “Sudahlah Bah, yang penting Abah teh bisa sehat.” jawab Ambu. “Mbu, Abah teh pingiin pisan. Di usia Abah yang senja ini, Abah bisa hidup tenang dengan anak dan cucu-cucu Abah.” Abah kembali memejamkan matanya, menahan sakit yang tak diucapkan.
Kesepian memang bisa menjadi parang tajam yang membunuh apapun. Tajam merampas apa saja. Lihat saja, di usianya yang enam puluh tahun, Abah sudah terlihat sangat ringkih, kulitnya keriput, merosot, dagingnya habis. Sedangkan Ambu terlihat lebih segar sedikit, kulitnya pun merosot, tapi daging masa mudanya masih tersisa. Sedikit.
Hari lebaran akan datang esok hari. Ambu cemas karena Asep tak kunjung datang juga, meski ia telah mengabarkan kalau Abahnya dirawat di rumah sakit. Abah seakan sudah putus asa untuk terus menanyakan kedatangan Asep. “Abah tidak mengaharapkan uang dan harta apapun dari Asep, Mbu. Yang penting Asep bisa tengok Abah barang sebentar saja. Lebaran ini saja.” lalu Abah diam. Lemah.
Di Semarang, Siti, istri Asep, bukan tidak peduli dengan keadaan mertuanya. Sering ia mengajak Asep untuk menengok mereka di Bandung. Paling tidak lebaran ini. Namun selalu saja alasan sibuk dan banyak pekerjaan yang Asep katakan. Hingga mereka benar-benar bertengkar hebat karena Abah dirawat di rumah sakit dan Asep masih enggan menengoknya. “Baik. Kalau mas tetap tidak mau menengok bapak ibu di Bandung, biar Siti dan anak-anak yang pergi ke sana!” Siti pergi malam itu juga. Naik kereta dari Stasiun Tawang menuju Stasiun Ciroyom.
Krriiinggg..... Handpone Asep berdering. “Ya Allah, Ya Rabb... Baik, saya ke sana sekarang.” Asep segera mengeluarkan mobilnya dari garasi. Sesampainya di rumah sakit Cirebon, ia tersungkur. Tanpa daya. Tulang-tulang penyangga tubuhnya seakan lepas. Copot tak beraturan. Remuk. Anak-anak Asep sudah tak bernyawa, sedangkan Siti masih bernapas tersengal-sengal. Tubuhnya merah. Mandi darah.
Kereta api Harina yang membawa Siti dan anak-anaknya terguling keras dan terperosok ke jurang ketika sampai di Cirebon. Hanya empat orang yang masih bernyawa, termasuk Siti. “M..Maa...Mass. Baa..bann...bandungg.” lalu napasnya terhenti.
Mobil ambulance dari Cirebon meluncur sampai ke Ambarawa, ke rumah orang tua Siti. Istri dan anaknya telah terbaring dalam gundukan tanah di pemakaman umum Ambarawa. Kini Asep sendiri. Tanpa Siti, tanpa buah hati. Semua pergi tanpa permisi.
 “Abaah.. Ambu...” suara itu bergetar menyusup kamar sempit rumah sakit. Pengap tanpa jendela. Ditambah bau khas orang tua. Bau khas keringat dingin orang sakit. Asam. “Abaaahh..Abaahh.. Asep durhaka sama Abahh.” meraung Asep. Luapan air mata kepedihannya membanjiri wajah bersalahnya. Meringkuk ia di bawah kaki Abah. Lalu Ambu.
“Abaahh...Ambu... Asep minta maaf. Asep durhaka. Asep durhaka...” sesak dada Asep. Air matanya terus mengucur. Lidahnya kelu. Tubuhnya lunglai. Tak kuasa ia meneruskan perkataannya.
Dua tubuh ringkih dengan kulit dan daging yang telah longsor di ruang itu tidak mampu berkata apapun. Air matanya mengucur deras, meski tak bersuara. Namun mata mereka tidak bisa berbohong. Mereka rindu. Mereka kesepian.
“I...Iya... Abah se...senang...” suara lemah itu amat lirih. Hampir tidak terdengar. Dan benar, sudah tidak terdengar lagi. Tapi Abah tersenyum.
Innaillahi wa innaillahi rajiun. Abah pulang tanpa kesepian. Kulit keriputnya kini bersih. Wajahnya bercahaya. Suci. Seperti alunan takbir yang bergema di malam lebaran itu. Bergema mengiringi sukma Abah....
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laailaahaillallah Allahu Akbar. Allahu Akbar, wa lillah ilham.
 


                                             



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANALISIS NOVEL JALAN MENIKUNG KARYA UMAR KAYAM (TERLENGKAP)

SINOPSIS, PENOKOHAN, LATAR/SETTING, SERTA AMANAT DALAM NOVEL YANG BERJUDUL JALAN MENIKUNG (PARA PRIYAYI 2) KARYA UMAR KAYAM I.     ...