LEBARAN ABAH
(Karya
: Ambar Arumsari)
“Abah,
tolong ini belanjanya !”, teriak Ambu dari halaman depan rumahnya. “MasyaAllah,
Ambu teh kenapa belanja banyak-banyak?”, tergopoh-gopoh Abah menjemput Ambu
yang kesulitan membawa berbagai barang belanjaan. “Ambu mau masak semur
kesukaan Asep, bah.” jawab Ambu semangat.
Ambu
belanja ke Pasar Ciroyom yang lumayan jauh dari rumahnya di Cimahi, menyusup
dinginnya kota Bandung pagi buta itu. Tiga hari sudah Abah dan Ambu sibuk
mempersiapkan ini itu. Padahal Idul Fitri masih seminggu lagi. Mengecat dinding
bambunya, membersihkan rumput-rumput liar halaman, mencuci kursi reotnya, dan
berbagai pernak-pernik rumah telah mereka persiapkan. Dari toples keripik hingga
lampu depan rumah kerlap-kerlip warna-warni.
“Kalau
nanti Asep pulang, Abah mau ajak dia mancing di sungai lagi, Mbu.” Siang itu Abah
melakukan ritual hariannya, mengelap telepon putar berwarna cokelat yang
permukaannya telah mengelupas menjadi hitam hampir diseluruh bagiannya. Pemberian
bapaknya dulu.
“Abah
ini bagaimana atuh? Asep teh udah gede, udah dewasa, udah punya anak juga, masa
mau diajak mancing, bah..bah..” sambung Ambu dari depan tungku, memasukkan tiga
potong kayu jati yang panjangnya satu meter lebih. “Kalau mau ngajak mancing ya
si eneng, cucu kita.”
Krriiiiinngggg.........Kriiiingggggggg.
Telepon tua itu berdering. “Assalamualaikum.” jawab Abah dengan segera. “Ya,
walaikumsalam.” Satu menit kemudian Abah meletakkan gagang teleponnya.
“Siapa
bah?” teriak Ambu. “Pedagang ayam, mau ngirim.” jawab Abah. Seharian Abah
menunggu telepon berdering, berharap Asep, anaknya, memberi kabar kepulangannya
ke kampung. “Mbu, si Dadang anaknya Pak RT itu sudah pulang kemarin sore.” Abah
berjalan ke dapur, berdiri di depan pintu belakang yang di buka setengah. “Si
Epi juga baru saja nyampe tuh.” tambahnya dengan murung.
“Alhamdulillah.
Ambu ikut seneng.” sahut Ambu. “Ambu ini bagaimana atuh? Harusnya teh sedih. Si
Asep anak kita belum pulang juga.” jawab Abah gelisah. “Abah husnudhon aja, mungkin macet.” jawab
Ambu mengibur.
Jam
demi jam, hari demi hari terus berlalu, hingga idul fitri kurang dua hari lagi.
Abah mulai cemas memikirkan Asep yang tidak kunjung memberinya kabar. Ditengoknya
telepon tuanya hampir setiap saat.
Seruan
adzan maghrib pun tiba bersamaan dengan dering nyaring telepon tua ketika Abah
dan Ambu sedang menyantap kurma segar pemberian pak haji untuk buka puasa. Muka
Abah sumringah. Tergesa-gesa ia berlari menuju telepon tua di meja kecil depan
kamar tidurnya. “Halo, assalamualaikum. Asep?” sapa Abah dengan sangat girang. “
Berkebalikan
dengan Abah, wajah Ambu memerah. Tubuhnya tegang, tangannya gemetar, lidahnya
kelu. Ambu sudah menduga kalau yang menelepon bukan Asep. Dan benar saja, Abah
menutup telepon dengan kecewa dan tidak bisa memendam amarahnya. “Anak itu
sudah lupa dengan kita, Mbu!” raut amarahnya semakin jelas. “Tidak mungkin atuh
bah. Mungkin Asep teh sibuk pisan.” hibur Ambu. “Anak Pak RT yang jauh-jauh
dari Kalimantan saja sudah pulang dari seminggu yang lalu. Semua anak
tetangga-tetangga kita sudah pulang! La, anak kita satu-satunya yang cuma dari
Semarang kok ya belum nengok ke sini!” jawab Abah sambil pergi keluar rumah
meninggalkan Ambu.
Suara
jangkrik terdengar makin keras bersahut-sahutan. Ambu mencoba menelepon Asep,
namun tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, telepon tuanya kembali
berdering. Ketika Ambu hendak mengangkat gagang telepon, Abah dari belakang
langsung mencegahnya. “Biar Abah saja yang angkat” seru Abah. Ambu memberikannya
dengan cemas.”Assalamualaikum, pak. Pripun kabarnya? Bapak sama Ibu sehat?”
terdengar suara dari teleponnya. “Walaikumsalam, kok kamu yang telepon Sit,
suamimu mana?” jawab Abah. “Mas Asep lagi sibuk mengurus tanaman-tanaman di
sini pak, dan katanya lebaran kali ini tidak bisa pulang ke Bandung lagi, Pak.”
Abah
menutup telepon dengan keras. Emosinya memuncak. “Dasar anak nggak berbakti.
Semarang Bandung itu cuma berapa jauhnya kok sampai nggak mau...”. Tiba-tiba
suara Abah terhenti. Dadanya sakit. Sesak. Tapi hatinya lebih sakit. Tersayat.
Ada luka menganga. Dan, bruuk. Abah pingsan tersungkur. Sakit jantungnya
kambuh. Kopiah hitam kusamnya terpental. Ambu panik. Minta tolong
kesana-kemari. Bingung. Takut.
Akhirnya
Abah terbaring di Rumah Sakit Umum Daerah Bandung, rumah sakit milik pemerintah
yang biayanya tidak selangit, bahkan tipis dan bisa gratis. Tapi jangan
tanyakan obat yang diberikan. Apalagi pelayanan. Maklumlah, setelah pensiun
sebagai pegawai rendahan di kantor kecamatan Bandung Kulon, Abah hanya bisa
beternak ayam kampung, sedangkan Ambu membantu sebisanya. Sering, dalam hati
paling ujung dalam, mereka mengharapkan Asep memberikan sedikit keuntungan dari
usaha tanaman hiasnya. Meskipun harapan itu tak pernah terucap dari mulut
mereka, namun mereka saling tahu, bahwa harapannya sama.
“Sudah
dua tahun ya Mbu, Asep tidak pulang.” kata Abah lemah. “Sudahlah Bah, yang
penting Abah teh bisa sehat.” jawab Ambu. “Mbu, Abah teh pingiin pisan. Di usia
Abah yang senja ini, Abah bisa hidup tenang dengan anak dan cucu-cucu Abah.” Abah
kembali memejamkan matanya, menahan sakit yang tak diucapkan.
Kesepian
memang bisa menjadi parang tajam yang membunuh apapun. Tajam merampas apa saja.
Lihat saja, di usianya yang enam puluh tahun, Abah sudah terlihat sangat
ringkih, kulitnya keriput, merosot, dagingnya habis. Sedangkan Ambu terlihat
lebih segar sedikit, kulitnya pun merosot, tapi daging masa mudanya masih
tersisa. Sedikit.
Hari
lebaran akan datang esok hari. Ambu cemas karena Asep tak kunjung datang juga,
meski ia telah mengabarkan kalau Abahnya dirawat di rumah sakit. Abah seakan
sudah putus asa untuk terus menanyakan kedatangan Asep. “Abah tidak
mengaharapkan uang dan harta apapun dari Asep, Mbu. Yang penting Asep bisa
tengok Abah barang sebentar saja. Lebaran ini saja.” lalu Abah diam. Lemah.
Di
Semarang, Siti, istri Asep, bukan tidak peduli dengan keadaan mertuanya. Sering
ia mengajak Asep untuk menengok mereka di Bandung. Paling tidak lebaran ini.
Namun selalu saja alasan sibuk dan banyak pekerjaan yang Asep katakan. Hingga
mereka benar-benar bertengkar hebat karena Abah dirawat di rumah sakit dan Asep
masih enggan menengoknya. “Baik. Kalau mas tetap tidak mau menengok bapak ibu
di Bandung, biar Siti dan anak-anak yang pergi ke sana!” Siti pergi malam itu
juga. Naik kereta dari Stasiun Tawang menuju Stasiun Ciroyom.
Krriiinggg.....
Handpone Asep berdering. “Ya Allah, Ya Rabb... Baik, saya ke sana sekarang.”
Asep segera mengeluarkan mobilnya dari garasi. Sesampainya di rumah sakit
Cirebon, ia tersungkur. Tanpa daya. Tulang-tulang penyangga tubuhnya seakan
lepas. Copot tak beraturan. Remuk. Anak-anak Asep sudah tak bernyawa, sedangkan
Siti masih bernapas tersengal-sengal. Tubuhnya merah. Mandi darah.
Kereta
api Harina yang membawa Siti dan anak-anaknya terguling keras dan terperosok ke
jurang ketika sampai di Cirebon. Hanya empat orang yang masih bernyawa,
termasuk Siti. “M..Maa...Mass. Baa..bann...bandungg.” lalu napasnya terhenti.
Mobil
ambulance dari Cirebon meluncur sampai ke Ambarawa, ke rumah orang tua Siti. Istri
dan anaknya telah terbaring dalam gundukan tanah di pemakaman umum Ambarawa. Kini
Asep sendiri. Tanpa Siti, tanpa buah hati. Semua pergi tanpa permisi.
“Abaah.. Ambu...” suara
itu bergetar menyusup kamar sempit rumah sakit. Pengap tanpa jendela. Ditambah
bau khas orang tua. Bau khas keringat dingin orang sakit. Asam.
“Abaaahh..Abaahh.. Asep durhaka sama Abahh.” meraung Asep. Luapan air mata
kepedihannya membanjiri wajah bersalahnya. Meringkuk ia di bawah kaki Abah.
Lalu Ambu.
“Abaahh...Ambu...
Asep minta maaf. Asep durhaka. Asep durhaka...” sesak dada Asep. Air matanya
terus mengucur. Lidahnya kelu. Tubuhnya lunglai. Tak kuasa ia meneruskan
perkataannya.
Dua
tubuh ringkih dengan kulit dan daging yang telah longsor di ruang itu tidak
mampu berkata apapun. Air matanya mengucur deras, meski tak bersuara. Namun
mata mereka tidak bisa berbohong. Mereka rindu. Mereka kesepian.
“I...Iya...
Abah se...senang...” suara lemah itu amat lirih. Hampir tidak terdengar. Dan
benar, sudah tidak terdengar lagi. Tapi Abah tersenyum.
Innaillahi wa
innaillahi rajiun. Abah pulang tanpa kesepian. Kulit
keriputnya kini bersih. Wajahnya bercahaya. Suci. Seperti alunan takbir yang bergema
di malam lebaran itu. Bergema mengiringi sukma Abah....
Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Allahu Akbar. Laailaahaillallah Allahu Akbar. Allahu Akbar, wa lillah
ilham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar