SEMANTIK
Semantik dalam Bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantiks, dari bahasa Yunani sema
(nomina) ‘tanda’, atau samaino (verba) ‘menandai’. Istilah tersebut digunakan
para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang memepelajari makna.
Dalam berbagai
kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik yang objek
penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik.
Semantik dengan
objeknya yakni makna, berada diseluruh atau semua tataran yang bangun membangun,
makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh karena
itu, penamaan tataran untuk semantik agak kurang tepat, sebab semantik bukan
satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar melainkan
merupakan unsur yang berada dalam semua tataran itu.
Hockett (1954), seorang
tokoh strukturalis menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks
dari kebiasaan-kebiasaan. Salah satu yang ada dalam sistem bahasa ini adalah
subsistem semantik. Subsistem semantik disebut bersifat periferal, karena
seperti pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang menjadi objek
semantik sangat tidak jelas, tidak dapat diamati secara empiris. Semantik tidak
lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek yang setaraf dengan
bidang-bidang studi linguistik lainnya, sejak Chomsky, bapak linguistik
transformasi menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik.
A.
Hakikat
Makna
Menurut de
Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen,
yaitu komponen signifian atau “yang
mengartikan” yang wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang
wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian).
Misalnya tanda
linguistik berupa (ditampilkan dalam bentuk ortografis), terdiri
dari komponen signifian, yakni berupa runtunan bunyi fonem /m/, /e/, /j/, /a/.
Dan komponen signifienya berupa konsep atau makna ‘sejenis perabot kantor atau
rumah tangga’.
Tanda linguistik yang berupa
runtunan fonem dan konsep yang dimiliki runtunan fonem itu mengacu pada sebuah
referen yang berada diluar bahasa, yaitu “sebuah meja”.
Bagannya seperti berikut :

(signifian)
Meja ------------------------------------------à
(tanda
linguistik)
Sejenis perabot rumah
Tangga / kantor
(signifie)
Keterangan :
1. Titik
(a) dan (c) bersifat tidak langsung, sebab (a) adalah masalah dalam bahasa dan
(c) masalah luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer.
2. Hubungan
(a) dan (b), serta (b) dan (c) bersifat langsung, titik (a) dan (b) sama-sama
berada di dalam bahasa, (c) adalah acuan dari (b).
Ferdinand de
Saussure mengembangkan bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang
memiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Hal ini berarti bahwa
makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada didalam konteks
wacananya atau konteks situasinya.
Misalnya kata
jatuh dalam kalimat-kalimat dibawah ini akan memiliki makna yang berbeda satu
dengan yang lain :
1. Adik
jatuh dari sepeda.
2. Dia
jatuh dalam ujian yang lalu.
3. Dia
jatuh cinta pada adikku.
4. Kalau
harganya jatuh lagi, kita akan
bangkrut.
Makna
itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem.
Kita dapat menentukan makna setelah dalam bentuk kalimat.
Contohnya
: Sudah hampir pukul dua belas !
Bila
diucapkan oleh seorang ibu asrama putri kepada seorang pemuda, maka bermaksud
mengusir, sedangkan jika yang mengatakan adalah seorang karyawan kantor berarti
menunjukkan waktu makan siang.
Yang
harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat arbitrer, maka
hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbitrer. Kita tidak dapat
menjelaskan kenapa benda cair yang selalu kita gunakan untuk keperluan mandi,
minum, masak, dan sebagainya disebut air, bukan ria, atau rai, dan sebagainya.
Begitu juga dengan kata-kata lainnya, kita tidak bisa menjelaskan hubungan
kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya.
B.
Jenis
Makna
Karena bahasa itu digunakan untuk
berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna
bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan
yang berbeda.
1.
Makna
Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang
memiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun. Misalnya leksem kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis
binatang berkaki empat yang bisa
dikendarai’; pinsil bermakna leksikal
‘sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’; dan air bermakna leksikal ‘sejenis barang cair yang biasa digunakan
untuk keperluan sehari-hari’.
Dengan
contoh itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksial adalah makna yang
sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa
adanya. Kamus-kamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang di miliki oleh kata yang
dijelaskannya.oleh karena itu, barang kali, banyak orang yang mengatakan bahwa
makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Pendapat ini, kalau begitu,
memang tidak salah; namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar,
juga ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan
makna-makna yang terbentuk secara metaforis.
Makna gramatikal berbeda dengan
makna leksikal, akan ada jika terjadi proses gramatikal seperti afikasi (penambahan), reduplikasi (Pengulangan), komposisi (pemajemukan), atau kalimatiasi.
1. Proses
afikasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal
‘mengenakan atau memakai baju’; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal
‘melakukan rekreasi’.
2. Proses
reduplikasi seperti kata buku yang bermakna ‘ sebuah buku’ menjadi
buku-buku yang bermakna ‘ banyak buku’ bahasa inggris untuk
menyatakan ‘ jamak’ menggunakan penambahan morfem (s) atu menggunakan bentuk
khusus. Misalnya book ‘ sebuah buku’ menjadi books yang
bermakna ‘ banyak buku’ ; kata women yang bermakna ‘ seorang
wanita’ menjadi womens yang bermakna ‘banyak wanita’
3. Proses
komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal
‘bahan’; dengan dasar madura melahirkan
makna gramatikal ‘asal’; dengan dasar
lontong melahirkan makna gramatikal ‘bercampur’; dan dengan kata Pak Kumis (nama pedagang sate yang
terkenal di Jakarta) melahirkan makna gramatikal ‘buatan’. Sintaksisasi
kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat Adik menendang bola melahirkan makna
gramatikal: adik bermakna ‘pelaku’, menendang bermakna ‘aktif’, dan bola bermakna ‘sasaran’. Sintaktisasi
kata-kata adik, menulis, dan surat
melahirkan makna gramatikal: adik
bermakna ‘pelaku’, menulis bermakna
‘aktif’, dan surat bermakna ‘hasil’.
Makna kontekstual adalah makna sebuah
leksem atau kata yang berbeda di dalam satu konteks. Artinya, makna tersebut
muncul sebagai makna tambahan disamping makna sebenarnya berupa kesan-kesan
yang ditimbulkan oleh sebab situasi tertentu. Misalnya, makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat berikut :
(a) Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
(b) Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid
itu.
(c) Nomor teleponnya
ada pada kepala surat itu.
(d) Beras kepala harganya lebih mahal dari beras
biasa.
(e) Kepala paku dan kepala jarum tidak sam bentukmya.
Makna konteks dapat juga berkenaan
dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungannya penggunaan bahasa
itu. Sebagai contoh kalimat berikut :
(f)
Tiga kali empat berapa?
Apabila
dilontarkan di kelas tiga Sd sewaktu pelajaran matematika berlangsung, tentu
akan dijawab “dua belas”. Kalau dijawab lain, maka jawaban itu pasti salah.
Namun, kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang foto di tokonya atau di
tempat kerjanya, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab “dua ribu”, atau
mungkin juga “tiga ribu”, atau mungkin juga jawaban lain. Mengapa bisa begitu,
sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran tiga
kali empat centimeter.
Contoh lain kalimat bermakna kontekstual :
(g) Kaki Dona terluka karena menginjak paku
(h) Rumah nenek di kaki gunung
Penggunaan kaki pada kalimat
diatas,bila ditilik pada konteks kalimatnya memiliki makna yang berbeda. Pada
kalimat (g), kaki berarti ‘alat gerak bagian bawah pada tubuh makhluk hidup’,
sedangkan pda kalimat (h), kaki memiliki arti ‘bagian bawah dari suatu tempat’.
Kata “kaki” pada hakikatnya memiliki maksud bagian terbawah dari suatu objek,
tetapi dalam penggunaan kata tersebut juga harus disesuaikan dengan konteks,
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pengertian arti kaki.
2.
Makna
Referensial dan Non-Referensial
Sebuah kata atau leksam disebut makna
referensial kalau ada referensinya atau acuanya.Makna referensial adalah makna
yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau memiliki acuan.Bisa juga
disebut makna kognitif karena memiliki acuan.Dalam hal ini makna memiliki
hubungan dengan konsep mengenai sesuatu yang telah disepakati bersama oleh
masyarakat bahasa.
Seperti
: Meja dan kursi ,keduanya memiliki referen (acuan).Meja dan kursi adalah
sebuah perabotan ruamah tangga.karena ada acuanya di dalam dunia nyata.
Makna
non referensial adalah sebuah kata yang tidak mempunyai referen.seperti kata
preposisi atau konjungsi yang hanya memilikifungsi atau tugas tapi tidak
mempunyai makna.kata deiktik adalah kata yang tidak menetap pada suatu maujud,
melainkan dapat berpindah dari satu maujud ke maujud lain.yang termasuk kata
deiktik adalah dia , saya, kamu, disini, disana, sekarang, besok, nanti. Contoh
:
1) Tadi
dia duduk disini, kata disini menunjukan sesuatu yang sempit.tempat yang
dimaksut mungkin sebuah bangku.
2) ”hujan
hampir terjadi disini setiap hari” kata walikota bogor.kata disini menunjukan
sesuatu yang luas.mungkin yang dimaksut kota Bogor.
3) disini
di Indonesia,hal itu sering terjadi.kata disini menunjukan seluruh wilayah
indonesia.
3.
Makna
Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli,makna asal
yang dimiliki oleh sebuah leksem.sebenarnya makna ini sama dengan makna
leksikal.misalnya:
Babi
mempunyai makna denotatif, sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk
dimanfaatkan dagingnya.begitu juga kata rombongan, bermakna denotatif
sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan.
Makna
konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan
kata tersebut.seperti kata babi pada contoh sebelumnya pada orang beragama
islam mempunyai konotasi yang negatif.ada rasa tau perasaan yang tidak enak
pada kata tersebut. Kata kurus juga berkonotasi netral, tidak memiliki rasa
yang mengenakkan,tetapi kata ramping
yang bersinonim dengan kata kurus tersebut memiliki konotasi positif
nilai rasa yang mengenakkan.
4.
Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech membagi makna menjadi konseptual dan
asosiatif.makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun.kata kuda memiliki makna konseptual
sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai, kata rumah memiliki makna
konseptual bangunan tempat tinggal manusia.makna konseptual sama saja dengan
makna leksikal,makna denotatif dan makna referensial.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa.misalnya kata
melati berasosiasi suci atau kesucian.merah berasosiasi berani, sehingga
asosisiatif ini sama dengan lambang.perlambangan yang digunakan masyarakat
bahasa untuk menyatakan konsep lain.
5.
Makna
Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna.
Awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksial, makna denotatif
atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru akan
menjadi jelas jika kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya.
Oleh karena itu makna
kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan
sebagai kata, maknanya cenderung dianggab sama, misal pada contoh kalimat
berikut:
-Tangannya
luka kena pecahan kaca
-Lengannya
luka kena pecahan kaca
Kata tangan dan lengan pada kalimat di
atas adalah bersinonim atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang
disebut istilah mempunyai makna yang pasti, jelas, tidak meragukan meskipun
tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu
bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Akan tetapi perlu diingat
bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan
tertentu. Misalnya, kata tangan dan lengan pada contoh di atas, kedua kata itu
dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian
dari pergelangan sampai jari tangan, sedangkan lengan bermakna bagian dari
pergelangan sampai pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah
dalam kedokteran tidak bersinonim , karena maknanya berbeda.
Dalam perkembangan bahasa memang ada
sejumlah istilah yang karena sering digunakan lalu menjadi kosakata umum,
artiya istilah itu tidak hanya digunakan di dalam bidang keilmuannya tetapi
juga telah digunakan secara umum di luar bidangnya.
6.
Makna
Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak
dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, maupun secara leksikal maupun
gramatikal. Contohnya secara gramatikal bentuk mejual rumah bermakna yang menjual mendapatkan uang dan yang
membeli menerima rumah. Tetapi dalam bahasa indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu,
melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi, makna yang seperti dimilik
bentuk menjual gigi itulah yang
dimaksud makna idiomatikal. Contoh lain dari dari makna idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna “bekerja
keras” , dan meja hijau dengan makna
“pengadilan” dan sudah beratap seng
artinya “sudah tua”.
Biasanya dibedakan orang adanya dua
macam idiom yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud idiom penuh
adalah idiom yang semua unsur_unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan,
sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk
sepertimembanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau termasuk contoh idiom
penuh. Sedangkan yang ddimaksud idiom sebagian adalah idiom yang salah satu
unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna “buku yang
memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus”; daftar hitam yang bermakna “daftar yang memuat nama-nama orang yang
diduga atau dicurigai berbuat kejahatan”
dan koran kuning dengan makna
“koran yang biasa memuat berita sensasi”. Pada contoh tersebut kata buku,
daftar, dan koran masih memiliki makna leksikalnya.
Berbeda dengan idiom yang maknanya
tidak dapat “diramalkan” secara leksikal maupun gramatikal, maka yang disebut
peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dar makna
unsur-unsurnyakarena adanya “asosiasi” antara makna asli deengan makna sebagai
peribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti
anjing dengan kucing yang bermakna “dikatan ihwal dua orang yang tidak
pernah akur”. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika berdua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
Contoh lain, peribahasa Tong kosong
nyaring bunyinya yang bermakna
“orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu” makna ini dapat ditarik
dari asosiasi: tong yang berisi bila di pukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi
tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi keras, yang nyaring.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua
bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah
memiliki kebudayaan yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar